Indonesian Women’s Forum 2023: Menggagas Kota Berkelanjutan, Mewujudkan Smart Living untuk Generasi Mendatang

Indonesian Women's Forum 2023, IWF 2023 15 December 2023

Rumah bukan sekadar struktur fisik, tapi juga sebuah ekosistem yang menyediakan kualitas hidup terbaik pada penghuninya. Dengan pendekatan yang bijaksana, kita dapat mewujudkan hunian yang menginspirasi dan mewujudkan gaya hidup yang lebih baik.

Rumah merupakan bagian integral dalam kehidupan kita. Di era modern ini, konsep rumah atau hunian melampaui sekadar fungsi tempat tinggal. Ia juga merupakan perwujudan kehidupan aspek kenyamanan, kehangatan, dan keberlanjutan dalam merespons berbagai perubahan yang terjadi di masa yang akan datang. Tema hunian modern ini disampaikan melalui sesi Konferensi di Indonesian Women’s Forum (IWF) 2023, tanggal 13 Desember lalu dengan tajuk “Rumah Masa Depan (Smart Home, Smart Living)”.

Salah satu hunian masa depan yang dibuat dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut adalah Ibu Kota Nusantara (IKN), yang sedang dalam tahap pembangunan hingga 2045. Diani Sadiwati (Staf Khusus Bidang Pembangunan Berkelanjutan, Otorita IKN) mengungkapkan bahwa pembangunan IKN berprinsip pada kota berteknologi tinggi yang ramah lingkungan.

Oleh karena itu, kota yang terletak di Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur dibangun dengan komposisi 25% untuk kota dan huniannya, sedangkan 75% adalah ruang terbuka hijau. “Jadi, bangunan IKN dibuat lebih ramah lingkungan, dengan komitmen menjadi kota berkelanjutan, sebagai smart citysmart living. Semua berbasis pada teknologi juga. Serta, dirancang untuk menjadi superhub ekonomi di masa depan,” jelas Diani.

“Dalam jangka panjang, diharapkan IKN dapat menumbuhkan lagi, memperkuat lagi identitas nasional dan keberagaman bangsa yang selama ini sudah ditekankan dengan Bhinneka Tunggal Ika,” sebut Diani.

Gambaran Kota Berkelanjutan

Dalam mencapai konsep kota yang berkelanjutan, Monika Indirasari, Direktur TOWNLAND, menekankan pentingnya membuat kota yang layak huni. Kelayakan tersebut terukur dari konektivitas yang tinggi. Artinya, penghuninya dapat berpindah dari satu area ke area lain sesuai kebutuhan mereka dengan cepat sekaligus nyaman.

“Berkaca dari IKN sebagai salah satu contoh kota yang dibuat ramah lingkungan, kita menciptakan “ten minutes city”. Segala fasilitas publik di kota tersebut dapat dijangkau dalam jarak dekat dan cepat. Orang juga jadi nyaman berpindah tepat dengan jalan kaki ke mana pun sehingga mengurangi penggunaan kendaraan dan polusi udara,” jelas Monika.

Monika juga melihat IKN sebagai salah satu kota yang akan menjadi “sponge city”. Yaitu, memiliki kemampuan untuk mengelola air hujan yang ditampung dulu sehingga airnya lebih bersih ketika dialirkan ke saluran kota. Jadi, tidak membebani saluran kota.

Pandangan mengenai pentingnya hunian memerhatikan lingkungan sekitar juga ditegaskan oleh Ren Katili, Founder dan Principal Studio ArsitektropiS. Menurut Ren, dalam membangun hunian di Indonesia, ada lima elemen iklim yang perlu diperhatikan, yaitu tingginya radiasi matahari, temperatur tinggi, kelembapan, curah hujan, tapi kecepatan anginnya rendah.

“Seringkali masyarakat Indonesia tidak paham mengenai iklim di Indonesia sendiri yang membuat huniannya tidak sustainable. Akibatnya, blunder, dengan membangun rumah bergaya luar negeri. Ketika berada dalam rumah, jadi kepanasan, akhirnya rela membayar tagihan listrik yang tinggi karena penggunaan AC. Kita pun mengambil hak generasi selanjutnya karena sumber daya alam jadi menipis,” jelas Ren.

Oleh karena itu, sama seperti memakai baju, kita juga harus merespons iklim di Indonesia ketika membangun rumah dengan membuatnya terasa nyaman tanpa perlu tambahan peralatan elektronik yang menghabiskan energi.

“Pembangunan hunian di IKN bisa menjadi tren atau panduan ketika membangun rumah. Saya melihat bangunan-bangunan di kota tersebut dapat merespons lima elemen iklim di Indonesia,” ujar Ren.



Membangun Kota Ramah Perempuan dan Anak

Tentu saja, pada akhirnya, setiap hunian modern diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan perempuan dan anak. IKN sendiri, ungkap Diani, berupaya agar penduduk perempuan setempat dapat mengakses berbagai fasilitas dan berperan dalam pengambilan keputusan di IKN. Juga, memberikan pelatihan-pelatihan kewirausahaan kepada penduduk perempuan setempat, seperti pembuatan hidroponik, membatik, memasak, menjadi barista, berbahasa Inggris. Tujuannya, untuk meningkatkan penghasilan mereka.

Monika pun sependapat bahwa kota disebut layak huni ketika mampu merespons kebutuhan perempuan dan anak-anak. Aktivitas perempuan yang luas, dari berkantor hingga mengurus rumah tangga, harus diberikan ruang yang fleksibel untuk mengakomodasi hal tersebut. Fasilitas dalam kota dibuat terintegrasi dan compact guna memudahkan mobilitas.

Ren pun menambahkan bahwa dengan membuat hunian yang mampu merespons kondisi iklim, pada akhirnya, memberikan dampak yang cukup signifikan pada perekonomian. Pasalnya, hunian yang sesuai kondisi iklim dapat menghemat pengeluaran dalam pemakaian energi. (f)